Senin, 07 September 2020

Masa depan surga wakatobi

 


Wakatobi merupakan gugusan pulau yang terdiri dari Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko dengan Luas wilayah sekitar 18.377 km², terdiri dari daratan seluas ± 823 km² atau hanya sebesar 3%, dan luas perairan ± 17.554 km² atau sebesar 97 % dari luas Kabupaten Wakatobi adalah perairan laut.

Dengan laut yang seluas itu mestinya kabupaten Wakatobi bisa menjadikan laut sebagai investasi bagi kesejahteraan masyarakat Wakatobi. Namun sangat disayangkan jika laut yang begitu luas mendapatkan perhatian yang minim  dari pihak pemerintah.

Berbicara panjang lebar tentang kesejahteraan masyarakat hanya akan menjadi ilusi bila mana perairan laut yang dilabeli surga nyata itu tidak terawat dengan baik. Lemah dan kacaunya regulasi yang mengatur perairan mulai dari penangkapan/pengambilan, pemanfaatan, sampai batas kawasan membuat laut semakin terancam.

Selain itu ancaman juga hadir dari pertumbuhan penduduk yang begitu pesat. Betapa tidak semakin banyak penduduk yang menggantungkan hidupnya pada laut tentu berlomba lomba untuk mengais dan mengerok hasil laut. Demi memenuhi kuota perut boleh jadi mereka melakukan tindakan yang tidak ramah lingkungan.

Kekhawatiran pun datang menghantui nasib para nelayan dengan berbagai macam tanya, harapan dan ramalan tntang masa depan laut Wakatobi.

Dapatkah surga itu bertahan ?

Dapatkah kebutuhan terpenuhi ?

Atau malah akan menjadi semakin parah.


Mengutip dari tanggapan salah satu aktivis mahasiswa (Adi majuun) menyatakan bahwa segitiga karang dunia, surga nyata bawah laut, dan sepuluh bali baru yang menjadi kebanggaan masyarakat Wakatobi sebagai destinasi wisata unggulan tidak seperti yang dibayangkan.

Dewasa ini yang kita bayangkan tentang Wakatobi hanya tentang keindahan lautnya, tetapi penjarahan hasil laut dan Kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kekayaan alam yang disebut oleh para wisatawan sebagai surga nyata bawah laut.

Kemudian ia menambahkan, Jika keadaan ini terus berlangsung, maka bisa dipastikan Wakatobi yang dikenal sebagai tempat hidup dan berkembangnya  berbagai jenis spesies tinggal nama yang akan menjadi kenangan.

Keadaan seperti ini menggambarkan kondisi yang tidak baik-baik saja, olehnya itu harapannya pemerintah bisa lebih memperhatikan dan melindungi laut Wakatobi.


Oleh: Muhamad Ilham






Jumat, 01 Mei 2020


Covid-19 dan Hilangnya Aktivis

Corona virus disease 2019 atau yang dikenal dengan sebutan covid-19 berhasil menjadi buah bibir khalayak. Betapa tidak, sepak terjangnya yang begitu mengerikan mengancam seluruh sendi kehidupan baik secara personal maupun kolektif.

Hal ini tentu membuat sebagian orang merasa panik dan dihantui bayang-bayang kematian sebab setiap hari kabar kematian yang ditampilkan stasiun televisi maupun media lainnya tidak sedikit merupakan berita duka yang disebabkan oleh virus ini, entah dari kawasan mana lagi, dari kota apa lagi, dan dari negara mana lagi berita duka ini datang tanpa henti.

Seluruh aktivitas tampak berjalan pincang, ditambah dengan kebijakan social distancing dan fisical distancing yang  menjadikan kita  benar-benar lumpuh, tidak terkecuali dengan keseharian para aktivis.

Aktivis yang bergerak di jalanan (demonstran) seakan mati terpapar virus. Kesehariannya yang mengguncang jalanan dengan suara lantang dan masa aksi yang begitu menggelegar tak bisa berbuat apa-apa. UU tentang hak menyuarakan pendapat di muka umum terasa tak berguna lagi lantaran adanya pembatasan sosial guna pemutusan rantai penyebaran covid-19. Perihal ini kita bisa saksikan saat 12 masa aksi diamankan oleh kepolisian saat menggelar aksi unjuk rasa di Gedung DPRD Sultra. Senin (23/3/2020)

Situasi yang demikian menjadi peluang besar bagi para pemangku jabatan. Banyaknya aturan yang tidak masuk akal  bermunculan Mulai dari Kebijakan PSBB, BLT, Kartu pra kerja, sampai kepada berita 500 TKA yang akan didatangkan ke Indonesia.

Dari keseluruhan kebijakan tersebut tidak ada yang tidak melahirkan polemik di tengah masyarakat. Namun apa daya masyarakat tidak memiliki power yang cukup untuk melawan. Kekuatan terbesar mereka yang menjadi media penyambung lidah itu kian menghilang.

 Sementara yang bergerak dalam pena (tulisan) dianggap tidak efisien karena hasil tulisan tidak sampai kepada pihak yang dituju belum lagi persoalan kuantitasnya yang sangat minim.Tragedi ini menjadi sesuatu yang membuat kita mesti bermuhasabah dan memikirkan amunisi yang akan dijadikan serangan balik pasca virus ini.

Sebagai penutup mari kita sama-sama berdoa semoga pandemi ini lekas berakhir dan mari berusaha aksi lewat coretan dengan harapan bahwa tulisan kita tidak sia-sia dan bisa sampai kepada para elit politik yang berwenang, karena berbicara soal aksi tidak bisa kita takar untuk bagian demonstran saja, tetapi juga bagian dari tulisan.

Oleh: Muhamad Ilham